Kotabumi (SL) - Lahan seluas 676
hektar di desa Haduyang Ratu dan Bandar Agung Kecamatan Bunga Mayang yang
digarap oleh PTPN Bunga Mayang diduga tidak masuk dalam HGU 21. Pasalnya, HGU
21 yang diterbitkan tahun 1995 lalu hanya meliputi tiga Desa yakni Desa Gunung
Katun Tanjungan, Gunung Katun Malai dan Desa Gedung Ratu Kecamatan Tulang
Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubabar).
Apa yang dilakukan oleh PTPN ini
merupakan bentuk kesewenang-wenangan alias penyerobotan lahan milik masyarakat
pribumi. Puluhan tahun masayarakat mengajukan gugatan namun hasilnya tetap
nihil. Carut marut soal lahan sengketa ini terungkap dalam pertemuan antara
masyarakat dua desa itu dengan PTPN yang dihadiri oleh kepala BPN Merodi
Sugarda yang digelar oleh Pemkab Lampura, Rabu (6/3).
Dalam pertemuan itu Merodi
Sugarda menyatakan, HGU 21 tahun 1995 hanya terletak ditiga Desa yakni Desa
Gunung Katun Tanjungan, Gunung Katun Malai dan Desa Gedung Ratu Kecamatan
Tulang Bawang, Udik Kabupaten Rulang Bawang Barat (Tubabar).
Sayangnya, BPN Lampura mengaku
tidak berkompeten untuk menyatakan secara tertulis karena mesti
berkoordinasi dengan BPN wilayah dan pusat bahkan kepala daerah diprovinsi
Sangbumi Ruwa Jurai ini. “HGU yang diterbitkan tahun 1995 hanya meliputi desa
Gunung Katun Tanjungan, Gunung Katun Malai dan Gedung Ratu,” kata Kepala BPN
Lampura Merodi Sugarda dalam rapat yang dipimpin Asisten I Pemkab Lampura
Aristoni.
Menurutnya, saat penerbitan HGU
21 yang meliputi tiga desa itu masih masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung
Utara. Pihaknya, berjanji akan mengirim surat
resmi kepada BPN wilayah provinsi Lampung ditembuskan ke Gubernur. “Karena
Gubernur selalu kepala daerah yang kemudian memiliki kewenangan untuk peryataan
secara tertulis,” terangnya
Sementara, pihak masyarakat
dikuasakan kepada Ormas Sabaisai Bungamayang. Sebelumnya, Ketua Sabaisai
Desyantori menegaskan jika pertemuan hanya akan mengadu argumentasi atau
berdebat, pihaknya lebih baik membubarkan diri. “Kalau pertemuan ini hanya
untuk beradu argumentasi, lebih baik kami semua pulang,” tandas Ketua Sabaisai
Desyantori sengit .
Jika ingin berdebat imbuhnya,
pihaknya akan terlebih dahulu menghadirkan pengacara baru memulai perdebatan.
“Kami datang kesini (dalam pertemuan) hanya untuk mendengarkan solusi yang akan
dilakukan oleh Pemkab Lampura,” ucapnya.
Ditambahkan, Munir (50)
perwakilan masyarakat dua desa, pemerintah harus mengambil langkah tegas karena
jelas-jelas desa Haduyangratu dan desa Bandaragung tidak masuk dalam HGU 21. “Walaupun
sekarang sudah terjadi pemekaran wilayah namun batas desa tidak berubah,” ungkapnya
seraya menjelaskan bahwa gugatan masyarakat sudah dilakukan sejak tahun 1986
silam sebelum justru HGU diterbitkan.
Anehnya, kok HGU 21 masih
diterbitkan. Sedangkan lahan yang diharap PTPN merupakan milik masyarakat dua
desa yakni Haduyangratu dan Bandaragung,” ungkapnya. Dilain pihak PTPN, hanya
bungkam menanggapi masalah HGU 21. Pihak BUMN ini mengaku sudah melakukan
langkah ganti rugi kepada sebagian masyarakat yakni Rp 2,5 juta perhektar
sebagaimana dikatakan oleh Ali Sufi. Sementara, Asisten I Pemkab Lampura
Aristoni mengatakan masyarakat harus bersabar menunggu hasil pengirman surat ke BPN Wilayah
meminta pihak BPN provinsi Lampung itu turun kelapangan. “Kami minta masyarakat
dapat bersabar menunggu perkembangan dari pihak BPN,” tuntas dia.(Feaby)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar